Wajah Media dan Kuasa Ideologi dalam Lintas Sejarah

Wajah Media dan Kuasa Ideologi dalam Lintas Sejarah
Wajah Media dan Kuasa Ideologi dalam Lintas Sejarah | ilustrasi: freepik.com

Terasikip.com – Wajah Media dan Kuasa Ideologi dalam Lintas Sejarah (Catatan Singkat Diskusi Sejarah dan Jejaring Media di Kota Malang Pasca Kemerdekaan).

Diskusi sejarah dan jejaring media massa di Kota Malang pasca kemerdekaan diadakan oleh Komunitas Terasikip melalui google meet (14/02/2021).

Diskusi bertemakan sejarah media di Kota Malang tersebut disambut antusias oleh para peserta. Hal ini dibuktikan dengan saling lemparnya argumen dalam pertanyaan dan pernyataan  baik dari pemateri maupun peserta. Diskusi kedua di tahun 2021 ini mengundang Fathul Panatapraja (budayawan, penulis, dan founder Petjut.id) sebagai pemateri.

Tema sejarah dan jejaring media dianggap menarik dan relevan diulang tahun terasikip.co yang ke-tiga pada tahun ini. Alasan pentingnya kekuatan media dalam bernegara dan berbangsa merupakan poin utama.

Tentunya media di Malang juga punya sejarah yang panjang, mulai dari kejayaan dan kemunduran media pra kemerdekaan, sekitar kemerdekaan, pasca 65, hingga media pasca reformasi. Selain itu menurunnya jumlah penerbit buku menjadi salah satu bagian dari alasan tema ini diambil karena menjamurnya penerbit buku dalam sebuah kota mengindikasikan bahwa adanya perkembangan budaya literasi di kota tersebut.

Sejarah media di Kota Malang tidak terlepas dari peristiwa sejarah di Indonesia, baik dari pra kemerdekaan hingga pasca proklamasi. Setiap peristiwa penting dalam sejarah indonesia berdampak pula dalam pola dan corak media. Pola dan corak media pra kemerdekaan berbeda dengan Pola dan corak media pasca 65 atau pasca reformasi. Menurut Fathul, pada tahun 40-an corak media lebih dipengaruhi oleh semangat perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia karena pada tahun-tahun ini, Indonesia masih dalam jajahan Belanda dan Jepang.

Sementara pada tahun 60-an ketika Indonesia sudah merdeka, media mempunyai wajah baru yaitu sebagai corong partai dan atau ideologi tertentu. Hal ini disebabkan karena munculnya banyak partai (dengan ideologi) yang saling bertarung dalam berebut kekuasaan.

Pada masa orde baru, terjadi berbagai macam pembredelan media. Terutama yang bertentangan dengan orde baru. Akibatnya media menjadi berwajah tunggal, yakni wajah untuk melegitimasi kekuasaan orde baru. Terbentuknya UU nomor 40 tentang Pers mengakhiri wajah tunggal media yang beriringan dengan tumbangnya kekuasaan orde baru pada tahun 98.

Munculnya Media di Malang dimulai dari terbitnya koran De Oosthoekbode  pada tahun 1895 yang merupakan edisi koran Malang dari koran Surabaya Soerabaiasche Handelsblad (Hudiyanto, 2007). Hudiyanto menambahkan bahwa pada tahun 1907 seorang Tionghoa bernama Kwee Khay Khee mendirikan sebuah percetakan bernama snelpersdrukkerij. Percetakan ini dikenal sebagai salah satu percetakan yang menerbitkan Tjahaja Timoer, salah satu koran yang cukup dikenal pada masa Hindia Belanda.

Selanjutnya pada 1918, muncul lagi sebuah perusahaan percetakan bernama Paragon Press yang dimiliki oleh warga Tionghoa bernama Khwee Sing Thay. Kemudian muncul berturut-turut media cetak besar seperti Nederlandsch-Indische Metaalwaren Emballage Fabrieken (NIMEF), De Malanger, Berjoeang, Pergaoelan, Al Ichtijaar, hingga Suara Indonesia. Pada tahun 1970-an sampai 2000-an, beberapa media cetak masuk Malang di antaranya Kompas, Jawa Pos, Surya, Malang Post, Memo Arema, dan Radar Malang,

Menurut Kirrilee Hughes (2001)Perjalanan pers di Indonesia telah mengalami proses cukup panjang dan penuh liku. Sejarah pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik dan dapat dibagi menjadi beberapa periode seperti berikut:

Tahun 1945, Pers di Indonesia mulai sebagai pers perjuangan yang bertujuan nasionalis. Kemudian antara 1950-1960-an, mulai menjadi pers partisan dengan suatu terbitan mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya.

Wajah Media dan Kuasa Ideologi. Lalu tahun 1970an, Pers mengalami depolitisasi dan menjadi pers komersial dengan pencarian dana dari periklanan dan jumlah pembaca yang tinggi.

Nah, tahun 1980-an. Mulai menjadi industri besar. Sebagai respons ‘ketangan-besian’ pemerintah, surat kabar besar mulai proses diversifikasi sebagai alat melindungi kepentingan. Proses ini melahirkan konglomerat media maupun pers regional yang kuat secara ekonomi dan keredaksian.

Kemudian 1990an, Pers mulai proses repolitisasi dengan memuat berita yang kritis terhadap pemerintah. Dapat dilihat dalam peristiwa: Tempo, DeTIK dan Editor ditutup oleh pemerintah Wartawan Bernas dibunuh di Yogyakarta. Kaki tangan pemerintah diduga sebagai pelakunya.

Peristiwa Krismon 1997. Harga kertas koran membubung tinggi. Banyak surat kabar mengurangi jumlah halaman dan masa terbit. Tahun 1998, Gerakan reformasi menyebabkan jatuhnya Presiden Suharto dan Orde Baru. UU RI No. 40 1999 menjamin keberadaan pers bebas. Banyak terbitan muncul, khusus di daerah. Pers mengalami proses lokalisasi.

Syarif Dhanurendra
SEO & Webmaster Terasikip.com