Terasikip.com – “Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” tak lain merupakan pidato terakhir kepresidenan Bung Karno pada 17 Agustus 1966, yang kelak lebih populer dengan istilah “Jas Merah”.
“Untuk menghancurkan sebuah bangsa dalam abad modern seperti saat ini, tidak perlu persenjataan dan konfrontasi fisik. Tetapi hilangkanlah sejarah dari generasi mudanya, maka lenyaplah suatu bangsa tersebut”
Tulisan ini tidak akan berselisih tentang pidato-pidato revolusioner Bung Karno secara substantif untuk mendalami kandungan maknanya. Tetapi tentang persoalan bagaimana sebuah bangsa menerima fakta masa lampau sebagai sebuah narasi sejarah tanpa diskriminatif. Sehingga tak akan ada lagi istilah jika “sejarah hanya ditulis oleh para pemenang” yang mungkin mengaburkan fakta-fakta, pembungkaman, atau bahkan terjadi kebisuan sejarah.
Hal ini dapat terlihat dalam narasi sejarah Indonesia pada periode mempertahankan kemerdekaan yang tidak kalah penting untuk dicermati, karena sebagai pembelajaran tentang bagaimana Indonesia pada tahap awal membangun konsep berbangsa dan bernegara pasca Perang Dunia ke-2. Pada aspek ini, salah satu kepingan sejarah Indonesia dalam periode mempertahankan kemerdekaan beberapa bulan pasca Proklamasi Kemerdekaan yakni pecahnya Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 yang nantinya diperingati sebagai hari Pahlawan.
Hal yang perlu ditelisik lebih jauh kiranya sebab peristiwa tersebut pecah, dengan melacak pada munculnya “Resolusi Jihad” yang dikeluarkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 22 Oktober 1945 dalam merespon kedatangan Inggris yang diboncengi NICA (Belanda), dengan maksud menguasai kembali Indonesia setelah Jepang kalah terhadap sekutu. Kondisi demikian yang mungkin tidak banyak diungkap dalam teks-teks sejarah di sekolah. Sehingga memahami peristiwa sejarah seolah hanya dipahami secara parsial (satu peristiwa ke peristiwa lain) tanpa memahami konsep kausalitas sejarah untuk menghadirkan narasi yang lebih komprehensif (menyeluruh).
Legitimasi Sejarah pasca Reformasi
Tentu dapat diketahui bersama dengan tumbangnya Orde Baru pada 1998, setidaknya kebebasan berpendapat mulai mendapatkan pengaruhnya dalam tataran konstitusi dan penguatan masyarakat sipil. Termasuk dalam hal ini tentang narasi sejarah dengan menggugat kembali pengendalian sejarah selama masa Orde Baru.
Hal yang kemudian diungkapkan oleh sejarawan LIPI Asvi W Adam, bahwa pengendalian sejarah masa Orde Baru mencakup dua hal: pertama, mereduksi peran Sukarno, dan kedua dengan membesar-besarkan jasa Suharto. Contoh yang terakhir misalnya, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dibesar-besarkan peran seorang Suharto dalam buku-buku pelajaran sejarah hingga dibuatkan monumen peristiwa tersebut. Padahal dua minggu sebelumnya Suharto diminta oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX ke keraton Jogja. Sehingga ide serangan tersebut sebenarnya dari Sri Sultan HB IX, yang kemudian peran Sri Sultan sengaja dihilangkan.
Upaya Pembisuan Sejarah Ulama Nusantara
Pada tahun 1990 yang bertepatan dengan peringatan 45 tahun pertempuran Surabaya. Kesimpulan akhir yang menjadi pahlawan besar dalam peristiwa tersebut diungkapkan adalah orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Hal yang kemudian dianggap terdapat upaya-upaya dalam membisukan atau meminggirkan peran ulama dalam narasi sejarah nasional.
Hingga puncaknya dalam sebuah seminar nasional di salah satu perguruan tinggi di Jakarta dengan tema perjuangan menegakkan NKRI pada tahun 2014 menyatakan bahwa “diantara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia hanya golongan pesantren khususnya NU”.
Sehingga sejarah Resolusi Jihad dianggap hanya dongeng dan tak lain cerita yang dibuat oleh NU. Atas dasar kegelisahan intelektual tersebutlah, menjadikan Dr KH Agus Sunyoto menggali fakta-fakta fatwa dan Resolusi Jihad, hingga akhirnya KH Agus Sunyoto menemukan tulisan sejarawan politik Amerika yakni Bennedict Anderson dalam disertasinya pada 1967 berjudul Java in a time of Revolution, yang menyinggung pengamatan sang penulis tentang adanya Resolusi Jihad. Salah satu kutipan kalimatnya sebagai berikut:
“22 Oktober 1945 pernah ada Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Tanggal 27 Oktober, koran Kedaulatan Rakyat juga memuat lengkap Resolusi Jihad, dan koran Suara Masyarakat di Jakarta juga memuat Resolusi Jihad”.
Temuan-temuan KH. Agus Suyoto pula mengungkap bahwa Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa hanya memiliki 10 divisi yang berjumlah total 100.000 pasukan yang terdiri dari 3 resimen dan 15 batalyon. Dan beberapa komandan divisi dipimpin langsung oleh kyai seperti Kolonel KH Syam’un yang merupakan pengasuh pesantren di Banten. Pada level kesatuan resimen hingga batalyon pun banyak yang langsung dikomandoi oleh kyai.
Contoh lain seperti komandan batalyon TKR Malang yakni Mayor KH Iskandar Sulaiman yang pada saat itu pula menjabat sebagai Rais Syuriah NU Kabupaten Malang. Arsip-arsip tersebut diungkapkan oleh KH Agus Sunyoto terdokumentasi lengkap sebagai arsip nasional di Sekretariat Negara dan TNI. Tetapi fakta-fakta dan data tersebut tak pernah ada dalam buku bacaan di sekolah SD/SMP/SMA, meskipun mulai ada penambahan materi tentang peran ulama, tetapi dalam bentuk modul pembelajaran Kemendikbud yang sangat ringkas pada tahun 2020 kemarin.
Resolusi Jihad hingga pecah Pertempuran 10 November 1945
Kemudian alasan mendasar munculnya Fatwa Jihad terjadi ketika Presiden Sukarno meminta fatwa kepada PBNU mengenai sikap yang harus dilakukan warga negara Indonesia, ketika diserang musuh dengan mengingat Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia yang baru saja merdeka. Hal lain ditambahkan pula oleh Presiden Sukarno mengenai cara yang harus dilakukan agar negara Indonesia diakui dunia, karena sejak Proklamasi 17 Agustus tak ada satupun negara di dunia yang mengakui Indonesia sebagai sebuah negara merdeka. Hingga akhirnya fatwa Resolusi Jihad lalu dimunculkan oleh PBNU.
Datangnya Inggris sebagai pasukan AFNEI pada 25 Oktober 1945 yang memiliki tugas diantaranya untuk melucuti persenjataan dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan, ternyata keesokan harinya Inggris membangun pos-pos pertahanan dan mengisi senapan mesin. Munculnya kabar jika Belanda yang hendak menguasai kembali Indonesia dengan membonceng tentara Inggris, menjadikan penduduk Surabaya geram dan meneriakkan “Jihad..Jihad…Mbah Hasyim, Allahu Akbar”.
Terjadilah pertempuran besar selama 5 hari (26-30 Oktober 1945) hingga puncaknya pada 30 Oktober yang pada akhirnya mobil Brigadir Jenderal Mallaby pada waktu itu melewati Jembatan Merah digranat dan mati mengenaskan di tangan arek-arek bonek Suroboyo, tutur KH. Agus Sunyoto. Tewasnya Jenderal Mallaby pada waktu itu, akhirnya membuat pasukan Inggris marah besar dan melakukan ultimatum yang berisi “jika sampai tanggal 9 November pada jam 6 sore pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan orang-orang Surabaya belum menyerahkan senjatanya kepada tentara Inggris, maka tanggal 10 November jam 6 pagi Surabaya akan dibombardir lewat darat, laut, dan udara”
Kemudian datanglah tujuh kapal perang yang langsung mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, meriam artileri Howitzer yang memiliki daya penghancur yang sangat besar, hingga skuadron pesawat tempur dan pengebom siap membumi hanguskan Surabaya pada waktu itu. Mendengar berita akan kondisi Surabaya yang diancam Inggris, Mbah Hasyim yang pada saat itu baru pulang usai konferensi Masyumi di Jogja pada 9 November, kemudian berfatwa bahwa hukumnya fardu’ain untuk berjihad bagi semua umat Islam yang berada dalam radius 94 kilometer dari Kota Surabaya.
Ukuran 94 kilometer tersebut merupakan jarak diperbolehkannya untuk meng-qoshor dan menjamak shalat. Sehingga wilayah-wilayah seperti Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Jombang, Malang, Kediri dan Tulungagung datang dari berbagai pesantren yang berjuang bersama santri-santrinya dengan laskar-laskar pejuang seperti Laskar Hizbullah dan Laskar Sabillah. Bahkan Cirebon yang memiliki jarak lebih dari 500 kilometer datang ke Surabaya untuk jihad membela tanah air dan bangsa. Orang-orang dari lintas agama pun juga ikut berperang seperti, warga Tionghoa, Kristen, dan Budha.
Luar biasa pengorbanan arek-arek Surabaya, kyai dan santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang sudah sepatutnya untuk dihormati narasi fakta kesejarahannya. Dan perlunya untuk mendekonstruksi buku-buku sejarah di sekolah, untuk sekiranya melihat perspektif baru yang lebih adil. Karena pembungkaman narasi terhadap perjuangan pesantren, kyai, dan santri dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, merupakan upaya-upaya tentang usaha untuk melenyapkan suatu bangsa tersebut.
Posisi strategi sejarah sebagai kekuatan memori kolektif bangsa, setidaknya memberikan fungsi sebagai unsur pembentukan identitas kebangsaan. Dan generasi muda yang mulai melupakan sejarah, dapat dipastikan dirinya akan terombang-ambing pada kekuatan budaya dan ideologi bangsa lain, tanpa memahami pijakan nilai-nilai kebangsaannya. Sehingga tidak mengherankan jika pada akhirnya moralitas generasi bangsa tersebut hancur, menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Sehingga memahami frasa JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah) juga harus dibarengi dengan frasa JAS HIJAU (Jangan Sekali-kali Menghilangkan Jasa Ulama).
(*) Sebagian besar bersumber pada diskusi bedah buku “Fatwa dan Resolusi Jihad” oleh KH. Agus Sunyoto di Pondok Pesantren Lirboyo tahun 2017.
Margo Teguh Sampurno, alumni Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Malang
Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Ini Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Info Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Jika Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Maka Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Jadi Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Misalnya, Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Tantang Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Andai Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Supaya Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Jika Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Maka Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Namun Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Kemudian Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah. Andai Resolusi Jihad dan Narasi. Jika Resolusi Jihad dan Narasi. Namun Resolusi Jihad dan Narasi. Maka Resolusi Jihad dan Narasi. Resolusi Jihad dan Narasi.
Leave a Reply