Terasikip.com – Isu perilaku mairil atau LGBTQ+ di lingkungan pondok pesantren selama ini seringkali dianggap tabu dan ditutup-tutupi. Namun, sebuah penelitian terbaru yang digagas oleh Surya Desismansyah Eka Putra, dosen Filsafat Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang, menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi masalah ini.
Penelitian yang didanai oleh Dana Internal Universitas Negeri Malang tahun anggaran 2024 ini menghasilkan sebuah model pencegahan mairil di pondok pesantren. Model ini menekankan pentingnya adanya ruang konsultasi yang terbuka dan aman bagi para santri untuk berbagi masalah serta pendalaman moralitas individu melalui perubahan mekanisme pengakuan dosa.
“Selama ini, banyak santri yang merasa terjebak dalam situasi yang sulit karena takut mengungkapkan orientasi seksual mereka. Akibatnya, perilaku mairil justru semakin berkembang dan membentuk lingkaran setan,” ujar Surya Desismyah Eka Putra. “Model yang kami kembangkan bertujuan untuk memutus mata rantai tersebut dengan menciptakan lingkungan yang lebih suportif dan memberikan akses pada layanan konsultasi yang profesional.”
Ruang Konsultasi sebagai Solusi
Salah satu kunci keberhasilan model pencegahan ini adalah adanya ruang konsultasi eksternal yang independen. Ruang konsultasi ini akan dikelola oleh pihak yang terlatih dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang isu LGBTQ+. Para santri yang mengalami kesulitan dapat mengakses layanan konsultasi ini secara rahasia dan tanpa takut dihakimi.
“Adanya ruang konsultasi eksternal sangat penting karena dapat memberikan perspektif yang lebih objektif dan netral,” ujar Farid Mustofa, dosen Filsafat Universitas Gadjah Mada sekaligus sutradara film dokumenter Pesantren Waria Al-Fatah yang menjadi konsultan model pencegahan LGBTQ+ di Pondok Pesantren ini. “Selain itu, kehadiran pihak eksternal juga dapat membangun kepercayaan para santri untuk terbuka tentang masalah yang mereka hadapi.”
Perubahan Mekanisme Pengakuan Dosa
Selain ruang konsultasi, model pencegahan ini juga menyarankan perubahan pada mekanisme pengakuan dosa di pondok pesantren. Pengakuan dosa tidak lagi hanya berfokus pada pelanggaran syariat, tetapi juga harus mencakup aspek psikologis dan sosial. Dengan demikian, para santri dapat merasa lebih lega dan mendapatkan bimbingan yang tepat.
Model pencegahan mairil ini diharapkan dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi masalah LGBTQ+ di lingkungan pondok pesantren. Namun, implementasi model ini tentu saja menghadapi berbagai tantangan, seperti resistensi dari pihak tertentu, stigma sosial, dan keterbatasan sumber daya.
“Kami menyadari bahwa perubahan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat,” ujar Surya. “Namun, kami optimis bahwa dengan kerja sama semua pihak, model ini dapat diterapkan secara luas dan memberikan manfaat bagi banyak orang.”
Leave a Reply