Terasikip.com – Veteran Operasi Seroja melawan trauma, begini kisahnya. Sesuatu hari pada Agustus 1976. Kesunyian tengah distrik distrik Ainano, yang berjarak sekira 70 kilometer di selatan Dili, ibu kota Timor Timur. Malam itu hanya terdapat sebagian serdadu ABRI yang berjaga-jaga, tercantum Romidi, laki-laki kelahiran Magelang, Jawa Tengah, yang tergabung dalam satuan tempur Kopassanda.
Romidi tidak menyembunyikan wajah lelahnya karena telah 3 jam tidurnya berhamburan. Dia mau memejamkan mata sesuatu yang lain. Tetapi, tugas jaga malam itu melarangnya istirahat dengan jenak. Seluruh berjalan umumnya, hingga kesimpulannya berita dari intelijen yang tersebar kilat, yang melaporkan jika kelompok Fretilin ingin melaksanakan serbuan, membuat tidur sirna dari kantung matanya.
Tidak hingga satu hari berita itu dikenal para serdadu, serbuan betul- betul terjalin. Belasan orang dari Fretilin, lengkap dengan senjata laras panjang, mulai dari tembakan ke arah arah pos jaga ABRI. Suasana berganti mencekam.
Keheningan malam berubah desingan peluru yang silih bersahutan. Takut memperhatikan perhatian sekujur badan Romidi, meski pengalamannya dalam menghadapi lebih dari lumayan. Dia berjaga-jaga untuk menata gerak, mengintai posisi musuh, saat sebelum memutuskan untuk melakukan pukulan balik melalui berondongan peluru.
Terdapat paling tidak 3 yang diyakini para serdadu ABRI kala mereka diterjunkan dalam medan perang: sukses selamat, wafat dunia, ataupun kembali dengan cedera yang ditemukan cacat raga. Bila boleh memilah, opsi yang sudah pasti hendak diambil. Tetapi, perang suatu hal yang gampang ditebak, serta ini mengenai Romidi.
Terjangan timah panas menembus kaki kanannya, dikala dia hendak berpindah tempat yang lebih strategis untuk menembak. Dia tersungkur, berlumur kepanikan, serta di dalam pikirannya terbesit tentang kematian.
2 kolega kemudian membawanya ke tempat yang lebih nyaman, seraya membebat lukanya dengan perban. Nafas Romidi tersengal- sengal menahan rasa sakit. Peluh mengucur deras. Walaupun tidak mengerti akan resiko di medan perang, ini jelas bukan suatu gambaran yang dibayangkannya. Pada kesimpulannya, penugasan di Bumi Lorosae pada 1976 di dasar Pembedahan Seroja tersebut jadi pembedahan militer terakhir yang dilakoni Romidi.
***
Veteran operasi Seroja melawan trauma
Perang di Timor Timur tercatat jadi salah satu mobilisasi pasukan besar- besaran yang sempat dicoba militer Indonesia. Dia dikaitkan dengan banyak satuan serta puluhan ribu serdadu dengan satu misi: menghindari Timor Timur merdeka. Titik awalnya merupakan Revolusi Anyelir, yang menyerang di banyak daerah koloni Portugis pada 1974, tidak ada Timor Timur.
Di kawasan ini, bernama Timor Portugis, terbelah dalam 3 faksi ihwal muka masa depan. Partai União Democrática Timorense (UDT) mau Timor Portugis selalu jadi daerah Portugis. Sebaliknya Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente( Fretilin) menginginkan Timor Portugis merdeka. Sisanya, Associacao Popular Democratica de Timor(Apodeti), Pardito Trabalhista, serta Klibur Oan Timor Aswain mengambil keputusan yang sama seperti UDT.
Suasana itu memantik respons sungguh-sungguh dari militer Indonesia. Bermacam pendekatan diambil, dari yang bersifat lunak untuk memilih serta alih pengaruh sampai yang brutal sekalipun, terlebih dikala Fretilin, kelompok berhaluan Marxis- Leninis, mendeklarasikan kemerdekaannya pada akhir 1976.
Langkah ini dicoba secara tidak berubah- ubah, dalam rentang waktu lebih dari 2 dekade, dan terstruktur di dasar satu rantai komando yang kuat. Medan pertarungan di Bumi Lorosae merupakan medan tempur yang lingkungan.
Dia tidak semata-mata jadi ajang“ ketahanan negeri,” tetapi pula pembuktian untuk para elite di badan militer berbagai Benny Moerdani, Ali Moertopo, sampai Maraden Panggabean, tentang kapasitasnya meracik strategi atas nama“ kesatuan NKRI,” di samping pula jadi lahan basah perwira – muda perwira semacam Prabowo Subianto serta konco-konconya buat melatih diri dengan melatih masyarakat sipil setempat.
Hendak namun, untuk orang semacam Romidi yang tidak terlalu menggubris politik, Pembedahan Seroja bukan semata-mata kepentingan elit di Jakarta, tetapi juga masalah hidup serta harga diri. Usai tertembak, Romidi harus menempuh perawatan intensif sepanjang sebagian bulan, menutup rapat peluangnya untuk menyimpan cadangan di lapangan.
Veteran Operasi Seroja melawan trauma. Merambah akhir 1970-an, Romidi dipindahkan ke Kementerian Pertahanan, sebagai staf administrasi, sampai masa pensiunnya datang pada dini tahun 1990.
“[Rasanya] sangat menyakitkan. Saya sempat menyerah setelah kena tembak,” tutur lelaki yang sekarang berusia hampir tujuh tahun ini saat ditemui di kediamannya di Wisma Seroja, Bekasi, Jawa Barat.
“Tapi, saya sadar bahwa kondisi saya, mungkin, tidak ada apa-apanya dibanding [tentara] yang lain. Ada yang lebih mengenaskan. Itu yang membuat saya bangkit pelan-pelan.”
Trauma tidak serta merta sirna. Dalam sebagian peluang, pengalaman getir yang singgah di kepalanya serta memunculkan kecemasan yang tidak sanggup dia bendung. Serta untuk para serdadu Seroja, yang spesial ditempatkan di Bumi Lorosae, cedera akibat perang belum pulih sepenuhnya, apalagi kala status mereka telah jadi seseorang pensiunan.
***
Veteran Operasi Seroja melawan trauma. Alibi Romidi bergabung dengan satuan militer merupakan dendam kesumat. Waktu kecil, dia sempat melihat bagaimana serdadu kolonial Belanda menyiksa keluarganya. Rumahnya diobrak-abrik. Bahan santapan dibuang. Orang tuanya dipukuli.
“Setelah itu saya pokoknya berniat jadi tentara. Dua hal ingin saya wujudkan: balas dendam dan membela negara,” tuturnya mantap.
Rencana itu dijalankan di usia 17 tahun, dengan bekal ijazah sekolah yang seadanya, semua tahapan tes fisik berhasil dilewati. Romidi lolos jadi tentara.
“Dulu [tes masuk tentara] cukup ketat. Kalau nggak lolos, ya, nggak bisa masuk. Enggak ada yang bayar di belakang kayak sekarang,” klaimnya.
Romidi juga ditempatkan di Batalion Infanteri Diponegoro, bagian dari Komando Wilayah Militer IV yang terkenal dengan nama Raider. Di tempat inilah, lama-lama, jam terbangnya mulai terkumpul, dengan berpartisipasi dalam berbagai macam pembedahan yang dicoba ABRI selama dekade 1960 sampai 1970.
Tercatat Romidi sempat turut Pembedahan Trikora, pada 1962, yang digaungkan Soekarno guna merebut Irian Barat— saat ini Papua—dari tangan Belanda. Pembedahan ini jadi pintu masuk untuk Indonesia buat mencengkeram Papua sampai saat ini.
Veteran Operasi Seroja melawan trauma. 2 tahun setelahnya, dia tergabung dalam Konfrontasi Dwikora Ganyang Malaysia, lagi dicetuskan Soekarno serta dipandu Ali Moertopo, yang berkeinginan mau melenyapkan pengaruh neo-kolonialisme serta neo-imperalisme yang menjangkiti negeri orang sebelah, dikala itu masih di dasar persemakmuran Inggris Raya.
Kiprah Romidi tidak menyudahi hingga di sana. Dari Dwikora, Romidi kembali ditugaskan ke lapangan, kali ini di Kalimantan, demi menghajar Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS/Paraku) yang dikira pemerintah “mengusik keamanan negeri” dan berafiliasi dengan PKI, yang pada medio 1965- 1966 lebih terlebih dahulu dihabisi oleh Orde Baru.
7 bulan di Kalimantan, pembedahan yang dicoba regu Romidi ditempatkan pada tewasnya pimpinan GPRS, Sayid Ahmad Sofyan Baraqbah. Merambah dekade 1970-an, Romidi bergantung pada satuannya dalam kerja- lapangan, lihatlah intelijen, hingga kesimpulannya pesan perintah itu tiba di hadapannya: Romidi masuk bagian dari Pembedahan Seroja yang diberangkatkan ke Timor Timur.
“Yang berangkat, waktu itu, kalau tidak salah, lima unit. Satu unit yang berisi 30 sampai 40 pasukan. Unit saya yang dipimpin [Letjen] Yunus Yosfiah, yang kemudian jadi Menteri Penerangan,” ujarnya.
“Tugas kami adalah menggempur kota dan merebut wilayah yang dikuasai Fretilin. Susah. Karena mereka paham wilayah.”
Romidi menceritakan tetap bergerak pada malam hari. Perjalanannya ditentukan tidak gampang karena sekali terjun dia mesti bawa tas ransel seberat 40 kilogram berisikan peluru, senapan AK- 47, rudal, hingga ransum. ini belum soal medan yang wajib dilewati; keluar- masuk bukit serta pegunungan.
Buat mempermudah pemetaan daerah, regu umumnya dibantu partisan dari warga setempat sebagai pemandu. Pertarungan dengan Fretilin acapkali berlangsung sengit—dan meletihkan. Sempat satu waktu serbuan Fretilin membuat regu yang diisi Romidi kelimpungan.
“Saya lupa bertahannya di daerah mana, tapi itu [pertarungan] yang paling berat sampai-sampai helikopter kami kena tembak,” tuturnya.
***
Veteran Operasi Seroja melawan trauma. Pengalaman Romidi ikut pula dialami Abu Mukmin, yang kala itu jadi anggota kesatuan Marinir Surabaya. Partisipasi Angkatan Laut( AL) dalam Pembedahan Seroja diperuntukan buat melindungi di dekat tepi laut, yang pula kerap penjagaan Fretilin.
“Marinir ditugaskan tidak hanya [untuk wilayah] laut saja, tapi juga di daerah dekat [sekitar] laut, dengan jarak kurang lebih 4 sampai 5 km dari tepi pelabuhan,” terang lelaki kelahiran Aceh ini.
Sengitnya pertempuran yang dirasakan Abu terjalin di sesuatu bukit tidak jauh dari Baucau. Regu Abu dihadang Fretilin serta setelah itu lahirlah menembak secara intens. Abu meningkatkan, posisi Fretilin lebih diuntungkan karena memahami secara tentu keadaan daerah setempat. Ini membikin gerak regu Abu cukup terbatas.
“Deg-degan sekali waktu itu. Mereka menembaki dari balik semak. Ketika kami membalas menembak, kok, banyak yang enggak kena [sasaran]. Pikiran udah enggak-enggak aja,” jelasnya.
Abu sukses selamat lolos dari pertarungan di bukit itu. Tetapi, tidak lama setelahnya, roda nasib kelewat membalik membalik: sama semacam Romidi, peluru menembus kaki bagian kanannya, dikala tengah melakukan patroli pagi. ini memfor Abu kembali lebih kilat dari masa pelaksanaan—tak lebih dari satu tahun, dari Maret hingga Desember 1976. Pembedahan Seroja tidak berlangsung selamanya.
Apa yang mengenai pasukan di situ, semacam yang dirasakan Romidi serta Abu, dapat dikata, merupakan buah hasil ketidakcermatan ABRI dalam dasar daerah, tidak hanya tidak maksimalnya koordinasi antar divisi. Salim Said, dalam bukunya melihat 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto( 2016), menulis kalau kala datang di Dili, pasukan penerjun malah silih baku tembak.
Di luar itu, data intelijen acapkali tidak akurat. Selaku contoh, Sungai Komoro yang dikabarkan penuh buaya, keringkan serta tidak membahayakan. Tidak ketinggalan, serta ini yang sangat mendasar, ada menerapkan antar petinggi di badan ABRI dalam memaknai pembedahan militer di Timor Timur.
Panglima ABRI kala itu, Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Maraden Panggabean, menerima data jika pembedahan Timor Timur adalah pembedahan intelijen. Hendak namun, oleh Benny, yang jadi salah satu tokoh kunci aneksasi Timor Timur, pembedahan militer tersebut dimaksud sebagai pembedahan pembedahan pembedahan lintas hawa.
“Strategi Kesalahan dalam kampanye militer di Timor Timur dulu adalah merebut kota-kota besar dengan sangat tergesa-gesa, tanpa terlebih dahulu mengepungnya dari pedalaman atau desa-desa,” ungkap AM Hendropriyono, yang pernah menjadi perwira Kopassus dan simpan di Timor Lorosae, seperti dicatat Salim dalam bukunya.
***
Veteran Operasi Seroja melawan trauma. Perang Timor Timur harus dibayar dengan harga yang mahal, dengan banyak korban dari kedua belah pihak. Commission for Reception, Truth, and Reconciliation (CAVR) memberi tahu korban kematian terpaut konflik di Timor Timur setidaknya sebanyak 102.800 orang. Dekat 18. 600 orang di antara lain dibunuh lenyap. Sebaliknya 84. 000 orang lain mati ataupun buruk karena sakit parah.
Laporan lain judul” Indonesian Casualties in East Timor, 1975-1999: Analysis of an Official List” yang disusun Garry van Klinken sekira 3. 600 orang Indonesia tewas dalam pertempuran di Timtim pada periode 1975 sampai 1999. Dari sisi tentara, angkanya juga dapat dikata tidak sedikit. Etri Ratnasari dalam Pembedahan Seroja 1975- 1978 di Timor Timur: Kajian Tentang ABRI- AD mencatat pada 1975 sebanyak 147 prajurit ABRI tewas dalam Pembedahan Seroja.
Setahun, angkanya melonjak jadi 351 orang, disusul 242 orang pada 1977, serta 379 orang pada 1978. Kekejaman di Timor Timur semakin tebal catatan kebrutalan lain dari rezim pada medio 1970- 1980.
Di Papua, baru saja berlangsung sampai hari ini, siapa pun yang diprediksi sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka( OPM) dibabat. Muchtar Effendi Harahap dalam bukunya bertajuk Demokrasi dalam Cengkeraman Orde Baru (2004) menulis, terhitung sejak 1981 sampai 1996, lebih dari 15 ribu orang Papua tewas dalam operasi militer yang dicoba di dasar Orde Baru.
Pengkeramanan Pancasila sebagai “asas tunggal” pula memakan banyak korban pada dekade 1980-an. Pada 12 September 1984, ratusan muslim tewas diberondong timah panas tentara di Tanjung Priok.
Peristiwa kejadian 5 tahun setelah itu di Talangsari, Lampung. ratusan orang meregang nyawa tidak bersalah pemerintah sebagai gerakan subversif. Bersumber pada laporan Komisi Orang Lenyap serta Tindak Kekerasan( KontraS) dengan judul Kertas Posisi KontraS: Masalah Talangsari 1989, Suatu Cerita Tragis Yang Dibiarkan (2006), diperiksa itu dicoba oleh 3 peleton Batalyon 143 serta satu peleton Brigade Mobil ( Brimob) yang dipandu Hendropriyono.
Jangan.kiprah penembakan misterius, ataupun“ petrus,” yang tidak kalah untuk bergidik Pembedahan ini menyasar para bromocorah, gali, dan bandit serta masif dicoba manakala Benny Moerdani naik jadi Panglima ABRI (Pangab) pada 1983. Di mata Benny, para kriminal tidak ubahnya semacam kanker: hanya buat sulit hidup warga. yang jadi sasaran antara lain preman, residivis, anggota geng, mereka, hingga mereka yang memiliki tato—sekalipun kejadian tanpa kejahatan.
Mirisnya, kebijakan petrus tidak sering ditunjukan ke orang-orang yang vokal mengkritik rezim. Pembedahan aksi bersih menyasar kota- kota besar berbagai Yogyakarta, Jakarta, ataupun Surabaya. Selama kurang lebih 2 tahun penerapannya, mengutip riset David Bourchier bertajuk“ Crime, Law, and State Authority,” jumlah korban tewas akibat petrus diperkirakan mencapai 5 sampai 10 ribu orang. Mereka seluruh mati tanpa diadili secara formal serta teruji sempat melaksanakan kejahatan.
Veteran Operasi Seroja melawan trauma. Deretan dosa di atas mengalahkan kekuasaan Soeharto naik ke sofa kekuasaannya dengan metode serta menjaga kekuasaannya dengan cara-cara otoriter yang tidak kalah keras pula sepanjang lebih dari 3 dekade. Indonesia di dasar Soeharto merupakan lautan darah. Meski begitu, aneksasi Indonesia ke Timor Timur—dibuktikan dengan penetapan sebagai provinsi ke- 27 pada Desember 1975—sukses dihentikan. Setahun usai Orde Baru tumbang, di dasar kepemimpinan Habibie, referendum kemerdekaan yang kemenangan PBB dilaksanakan pada 30 Agustus 1999.
Hasilnya, dari total 438.968 suara, sebanyak 344.580 atau 78, 50 persen rakyat Timor Timur memilah berpisah dengan Indonesia serta menolak otonomi khusus dari Indonesia. 3 tahun usai referendum, Timor Timur—berganti Timor Leste—memperoleh status resminya sebagai negeri anggota PBB.“Rasanya nyesek sekali di dada,” ucap Abu, pelan, menjawab merdekanya Timor Timur.
Realitas memanglah getir. Dalam Perang Timor Timur, medan penuh darah yang tidak dapat dimenangkan itu, nasib baik hanya mengenai mereka yang berdiri di rantai dasar. Serdadu-serdadu semacam Abu serta Romidi tidak lebih dari pion yang dikorbankan oleh para raja, yang pada kesimpulannya hidup penuh gelimang kekuasaan.
Sumber: Tirto.id
1 Comment