Sejarah Kota Batu, Dari Perkebunan Kolonial Hingga Pariwisata

Sejarah Kota Batu
Sejarah Kota Batu (Foto: Instagram @rivaldi_alga)

Terasikip.com – Sejarah Kota Batu. Kota Batu tergolong ke dalam kota yang relatif baru yakni secara administratif menjadi kota otonom pada tahun 2001. Kota ini baru mengalami industrialisasi secara pesat sejak resmi menjadi pemerintahan kota. Berbeda dengan kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Semarang, atau Surabaya yang lebih dahulu mengalami modernisasi dan industrialisasi pada abad ke-19.

Kota Batu merupakan kawasan hasil dari pemekaran wilayah Kabupaten Malang. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, Malang merupakan wilayah yang diperuntukkan sebagai kawasan hunian dan hiburan dengan pusat ekonomi di Surabaya. Menurut Purnawan Basundoro & Khusyairi (2012) wilayah Malang Raya menjadi penyokong di sektor pertanian dan pariwisata sebagai pelepas penat setelah masyarakat lelah bekerja.

Sejak masa kolonial, Kota Batu sebagai daerah tujuan pariwisata di wilayah Kabupaten Malang. Kota Batu terletak di kawasan pegunungan dengan suhu udara yang dingin dan tidak lembab, sehingga Batu menyuguhkan panorama alam yang indah. Kondisi Batu tersebut sangat baik untuk pertanian dan perkebunan, serta pengembangan wisata dengan nuansa alam (Van Schaik, 1996).

Jejak Perkebunan

Perekonomian di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan perkebunan yang muncul pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan meningkat pada masa kolonialisasi Belanda. Kebaradaan perkebunan sangat penting bagi keberlangsungan ekonomi kolonial, terutama perkebunan kopi. Pada periode Tanam Paksa, komoditas kopi merupakan salah satu komoditas primadona dalam perdagangan internasional. Seluruh wilayah Hindia-Belanda yang memiliki geografis pegunungan menjadi wilayah perkebunan kopi, termasuk Afdeling Malang (Goor, 1986).

Kondisi ini terus berlanjut dan menguat, terutama setelah penerbitan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Banyak pengusaha asing mendirikan perkebunan dan meramaikan pasar ekonomi perkebunan, yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah Hindia-Belanda. Undang-Undang Agraria tersebut memunculkan pembukaan lahan yang semakin besar.

Baca juga:  Geger Mukhtamar NU Ke-29 di Cipasung Tahun 1994

Perkebunan di Afdeling Malang terus mengalami peningkatan sampai pada abad ke XIX, mulai dari munculnya beberapa perkebunan kopi swasta yang kemudian mengakibatkan peningkatan produktifitas kopi hingga perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan perkebunan (Hudiyanto, 2011).

Batu yang saat itu masuk dalam rayon Penanggungan merupakan salah satu kawasan penghasil kopi di Afdeling Malang. Pada tahun 1901 (selama satu tahun) penduduk di kawasan distrik Kota Malang, Penanggungan, dan Ngantang mampu menyetor 3831 pikul kopi (Hudiyanto, 2015). Sementara perusahaan yang menguasai pengiriman kopi di wilayah tersebut adalah NV Koffiepellerij Batu. NV Koffiepellerij Batu menguasai pengiriman kopi hingga 63,7%. Perusahaan ini menguasai kawasan penanaman Kota Malang, Batu, Penanggungan, dan Ngantang (Hudiyanto, 2011).

Pada tahun 1925, di daerah Punten Batu dikenal sebagai produsen jeruk, sehingga pernah muncul sebutan populer Jeruk Punten atau jeruk yang berasal dari Punten. Tetapi pada tahun 1950-an Jeruk Punten mengalami penurunan jumlah produksi yang drastis karena terkena serangan hama. Setelah pudarnya budidaya jeruk muncul tanaman apel.

Masa kejayaan perkebunan kopi di Kota Batu mengalami penurunan tajam ketika jeruk dan apel berhasil dikembangbiakkan. Keberhasilan tersebut membuat para petani pemilik perkebunan mengubah jenis tanaman mereka dari yang semula kopi, kina, dan teh. Salah satu yang menjadi alasan kenapa komoditas kopi tidak lagi menjadi komoditas utama untuk perkebunan adalah karena harga kopi di pasaran internasional mengalami penurunan. Sementara apel lebih menjanjikan untuk dikelola.

Apel dibudidayakan pada 1930-an berkat inisiatf dari warga Belanda bernama Tuan Pegtel. Budidaya apel ini tidak langsung meluas di masyarakat karena bibit apel sulit didapat, sehingga hanya orang Belanda saja yang membudidayakannya. Dalam pembudidayaan tanaman apel, Pegtel dibantu oleh seorang pribumi bernama Pak Kandar (Sulistyo, 2011).

Baca juga:  Syair Doda Idi, Politik Memori Dalam Sastra Lisan Rakyat Aceh

Tanaman apel baru berkembang luas di Batu pada 1950-an, setelah petani di Batu dapat mengembangbiakkan sendiri tanaman apel tersebut. Pada 1970-an dari pertanian semula hanya mengandalkan padi dan sayur untuk daerah utara Brantas mulai mengembangbiakkan apel, yang semula dilakukan oleh orang Belanda dan merupakan perkebunan berskala besar seperti Batu, Tulungrejo dan Sidomulyo, dan mejadi populer di era 1970-an. Semua petani di daerah utara Brantas beralih komoditas dari padi dan sayur menjadi apel (Hanas & Sasmita, 2014).

Munculnya Pariwisata

Sementara itu, akar ekonomi pariwisata sejarah Kota Batu dimulai sejak Masa Kolonial. Pembangunan pariwisata di Kota Batu ditandai dengan berdirinya Taman Wisata Selecta pada tahun 1928 oleh orang Belanda bernama Royter Dewvild. Pembangunan ini sering kali dilambangkan sebagai pembuka pintu kepariwisataan di Kota Batu. Tempat wisata dengan luas 20 ha tersebut terletak di Tulungrejo, pada tempat yang berpemandangan sangat indah, yakni antara lembah Gunung Anjasmoro dan Gunung Welirang (Cahyono, 2011).

Ketika wilayah Batu Utara menjadi sentra perkebunan, Selecta seolah menjadi mahkota bagi perkebunan yang luas tersebut. Berkunjung ke Selecta tak ubahnya dengan berwisata kebun. Bangunan ini berdiri di tengah hamparan kebun berhawa sejuk, yang sesekali berbalut embun. Bahkan ketenaran Selecta sempat mengalahkan nama Tulungrejo sebagai desa tempat Selecta berada (Hanas & Sasmita, 2014).

Sejarah Kota Batu
Pemandian Selecta Pada Masa Kolonial Belanda (Foto: Facebook Mesin Waktu)

Pembangunan Selecta memicu pembangunan di sektor lain seperti kolam renang, penginapan, dan hotel. Industri hotel di Kota Batu pasca kemerdekaan tumbuh menjadi akomodasi wisatawan gaya baru. Pada tahun 1970-1998, jumlah hotel di Kota Batu mengalami perkembangan yang pesat, hal ini ditandai dengan hotel berbintang dan tak berbintang (Pemprov Jatim, 1990).

Baca juga:  Museum Musik Indonesia (MII), Museum Musik Pertama di Indonesia yang Wajib Kamu Kunjungi

Pada tahun 1997, jumlah hotel di Kota Batu jika dibandingkan dengan daerah Malang lainnya seperti Lawang, Dampit, Kepanjen, Dau, dan Ngajum masih mendominasi hingga 70 hotel (BPS Kab Malang,1997).

Pada tahun 2001 ketika Kota Batu sah berstatus sebagai pemerintahan kota, Jatim Park Group mendapatkan izin usaha di bawah Walikota pertama, Imam Kabul. Pada tahun 2002 Jatim Park 1 (Pondok Jatim Park) didirikan di pusat Kota Batu oleh Paul Sastro Sendjojo.

Pembangunan tersebut menandai laju industrialisasi pariwisata yang pesat di Kota Batu. Setidaknya setelah Jatim Park 1 berdiri perusahaan Paul Sastro pada tahun 2017 sebanyak 15 perusahaan. Ke semua perusahaannya paling mendominasi dari pada industri pariwisata lainnya karena didukung penuh oleh pemerintahan kota terutama pada masa kepemimpinan Walikota Eddy Rumpoko. Yang paling terkenal dari perusahaannya adalah Jatim Park 1, Jatim Park 2, Jatim Park 3, Batu Night Spectacular, Museum Angkut, dan Predator Fun Park. Jatim Park menjadi pionir obyek wisata buatan modern di Kota Batu.

Dengan konsep obyek wisata buatan yang ditawarkan yakni berupa wisata dengan berbagai macam wahana permainan berteknologi tinggi, mampu menjawab keinginan pasar konsumen pariwisata di Jawa Timur, mengingat pada saat itu obyek wisata yang menyediakan wahana permainan sedemikian banyak masih jarang ditemui di Jawa Timur, sehingga Jatim Park menjadi obyek wisata buatan yang paling diminati (Erikania, 2017). Jatim Park Group menandai munculnya industri-industri lain dalam sejarah Kota Batu, meningkatnya sektor informal, dan naiknya kelas pekerja. 

Ahmad Fahmil Aziz
Pelaksana Harian Terasikip.com