Terasikip.com – Dalam peringatan Hari Lahir ke-27 PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) di Jakarta pada 23 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto menyebutkan didepan publik istilah “Serakahnomics”—istilah baru yang digunakan untuk menyindir kelompok pelaku ekonomi yang mencari keuntungan dari penderitaan rakyat.
Misalnya melalui praktik beras oplosan dan pengurangan takaran minyak goreng, serta praktek-praktek lainnya yang tidak berpihak kepada rakyat. Sebagai pemuda desa yang aktif di komunitas, turut menyoroti relevansi istilah ini terhadap kondisi sosial‑ekonomi di desa‑desa kita.
Prabowo secara tegas menyebut kelompok pengusaha semacam itu sebagai “parasit” dan “vampir ekonomi yang menghisap darah rakyat”. Lebih tegas, ia menyatakan ada kerugian negara hingga Rp 100 triliun setiap tahun dari akibat praktik curang seperti beras oplosan dan pengurangan isi minyak goreng.
Sebagaimana dikutip dari Katadata pada 22 Juli 2025 sebutnya, “beras biasa dioplos, lalu dilabeli premium”, sementara “botol minyak goreng dikurangi 10–20%”—praktik yang dipandang sebagai bagian dari Serakahnomics.
Dampak Direktif terhadap Desa
Dari perspektif seorang pemuda desa, praktik semacam ini bukan sekadar berita—itu menyentuh kehidupan sehari-hari. Harga pangan menjadi tidak stabil, kualitas buruk, dan masyarakatlah yang menanggung akibatnya. Program seperti pemberian bantuan sosial, BLT dan lain sebagainya itu menjadi kurang efektif karena tidak menjawab akar persoalan sistem distribusi.
Pidato Prabowo memantul nyata dalam data dan realitas: kerugian besar, manipulasi berkelanjutan, dan aparatnya pun dipanggil untuk bertindak—Jaksa Agung dan Kapolri diperintah “usut, tindak, kejar” para pelaku.
Serakahnomics vs. Kedaulatan Desa
Istilah “mazhab Serakahnomics” bukan sekadar retorika. Arti sebenarnya adalah penolakan terhadap praktik ekonomi eksploitatif yang di industri pangan, distribusi, dan logistik yang lewat rantai panjang sering lolos dari pengawasan.
Di desa, selama ini, intervensi cepat berupa bansos hanya menambal lubang, bukan mencegah bocornya ke-salahan pada rantai distribusi. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah pendekatan struktural: penguatan kelembagaan desa, koperasi, akses alat produksi, dan distribusi pendek yang punya pengawasan transparan.
Ada beberapa bentuk intervensi yang bisa dilakukan misalnya: 1. Penguatan Koperasi dan Mini‑Industri Desa; Desa mampu membangun starch mill, pengolahan kelapa sawit lokal, dan galangan kecil untuk produksi kelapa, beras, atau minyak goreng—mengurangi ketergantungan pada rantai panjang. 2. Transparansi Rantai Distribusi Pangan; Sistem traceability harus diterapkan hingga level desa/kelurahan melalui teknologi sederhana (QR code, apps desa), agar tak ada lagi oplosan atau pengurangan isi tanpa jejak.
Selain itu persoalan tentang 3. Pengawasan oleh Aparat + Komunitas Lokal; Pasca pidato Prabowo yang mendorong aparat (Kapolri/Jaksa Agung), desa perlu berperan aktif dalam pengaduan, pelaporan dan validasi hasil audit pangan. 4. Investasi Infrastruktur dan Alat Produksi; Intervensi jangka panjang, bukan bansos langsung, tapi investasi: alat panen, SDM Unggul, pengolahan, transportasi desa—ini menguatkan basis ekonomi lokal.
Pidato Presiden di Harlah PKB merupakan momentum penting. “Serakahnomics” bukan hanya label tajam, tapi undangan untuk membangun ekonomi rakyat yang berintegritas. Desa bukan hanya objek, melainkan tempat tumbuhnya model ekonomi inklusif—dengan intervensi yang memberdayakan, bukan mengandalkan bansos.
Sebagai manusia yang lahir dan tinggal di desa, berharap “mazhab Serakahnomics” ini segera diterjemahkan kedalam kebijakan nyata, kongkret, dan terukur: audit pangan dasar, pendanaan koperasi; ini patut ditunggu dalam program koperasi merah putih yang baru saja resmi diluncurkan, infrastruktur lokal, dan yang terpenting pengawasan bersama masyarakat. Inilah bentuk kedaulatan ekonomi sejati.
Penulis: Ali Bisri Al Muniri
Leave a Reply