Terasikip.com — Sejak era “tsunami publikasi” pada 2017–2020, Indonesia menorehkan rekor sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan artikel ilmiah tertinggi di Asia Tenggara. Namun tren kuantitas ini tak diiringi dengan peningkatan kualitas atau tata kelola yang sehat. Justru sebaliknya, data menunjukkan penurunan jumlah sitasi per dokumen serta meningkatnya publikasi di predatory journal atau jurnal bermasalah yang tanpa proses review yang layak.
Dalam suasana seperti ini, muncul kekhawatiran serius akan korupsi akademik sistemik: plagiarisme, jual beli publikasi, ghost‑writing, hingga dominasi paper publising untuk memenuhi target administratif. Ketika publikasi menjadi tolak ukur utama bagi karier dosen, akreditasi, dan promosi, tragedi integritas tak dapat dihindari.
Lokman Meho dalam studi terbarunya (preprint Mei–Juni 2025) memperkenalkan Research Integrity Risk Index (RI²)—metrik bibliometrik yang menilai risiko integritas berdasar dua komponen utama: Retraction Rate: frekuensi artikel ditarik per 1.000 publikasi (tahun 2022‑2023) dan Delisted Journal Rate: proporsi publikasi yang keluar dari indeks Scopus/WoS (tahun 2023‑2024) laporan tersebut bisa diakses pada laman berikut https://sites.aub.edu.lb/lmeho/ri2/.
Setelah memperluas sampel dari 1.000 ke 1.500 perguruan tinggi global pada 5 Juni 2025, RI² menetapkan 121 institusi dalam kategori Red Flag (≥ 95 persentil) sebagai institusi dengan risiko integritas tertinggi. Dari institusi tersebut, 32 universitas berasal dari India, sedangkan 21 dari Saudi Arabia berada dalam kategori serupa. Di Indonesia sendiri, setidaknya 13 perguruan tinggi—yang termasuk dalam daftar 1.500 teratas—dinyatakan berada dalam kategori Red Flag, High Risk, atau Watch List oleh RI².
Apa Arti Temuan Itu bagi Kampus Kita ?
Data ini bukan sekadar angka; ia adalah cermin bahwa ada praktik sistemik—bukan sekadar insidental—yang membahayakan integritas ilmu. Publikasi di jurnal delisted biasanya merupakan jurnal bermasalah: tanpa peer review yang valid, sering menerima naskah dengan bayaran, atau dikendalikan entitas yang tidak bertanggung jawab.
Kompas mencatat: hampir 8 dari 10 guru besar di Indonesia diketahui pernah menerbitkan di jurnal yang predatory atau potensi predatory. Ini menunjukkan bahwa pencapaian akademik dikejar melalui jalur pintas bukan instrumen ilmiah.
Akibatnya, meski jumlah publikasi melonjak, sitasi dan dampak ilmiah justru stagnan atau menurun—menandakan hilangnya esensi kontribusi akademik yang bermakna.
Nirintegritas: Bentuk, Akar, dan Manifestasinya
Praktik Publikasi Komersial dan Ghost‑Writing terjadi di forum online bahkan membicarakan eksistensi ghost‑writer artikel ilmiah yang melayani dosen dengan tarif tinggi, melampaui batas wajar. Seorang pengguna Reddit menyebutkan “Di keluarga ada dua orang yang jadi ghost writer … Pelanggannya ya para dosen Indo.”
Selain itu praktik jual beli jabatan dan nilai akademik masih terjadi dalam banyak kampus, posisi fungsional dan akses administratif dijual sebagai komoditas. Mahasiswa dituntut untuk memenuhi target publikasi untuk wisuda atau kenaikan pangkat profesor. Nilai kuliah dan tugas sering dipengaruhi oleh relasi, bukan hasil akademik.
Tentang Nepotisme dan Sistem Elitis masih menjadi persoalan, jabatan akademik tak jarang diwariskan dari lingkaran tertentu. Rekrutmen berdasar kesukaan, koneksi, atau transaksi politik internal lebih mendominasi daripada asas meritokrasi. Akibatnya, suasana akademik dipenuhi kecemasan berebut kekuasaan di atas kompetisi sehat.
Dampak: Smooth on Paper, But Hollow Inside
Akibat sistem meritokrasi yang tergeser oleh kuantitas, kampus menjadi: Institusi pencetak gelar, bukan pencetak pemikir kritis, tempat meresahkan mahasiswa mencari akses, bukan pengetahuan, lingkungan di mana suar kritis dianggap subversif, serta model pendidikan tinggi rapuh moralnya, rusak nilai dasarnya.
Mahasiswa dan dosen yang muncul dari sistem seperti ini mungkin memiliki titel dan jumlah publikasi tinggi, tapi tak memiliki integritas intelektual atau daya kritis.
Reformasi: Jalan Menuju Kampus Bermartabat
Merespons kondisi ini, seluruh elemen akademik perlu bertindak dengan melakukan beberapa hal lewat kebijakan dan budaya hidup jujur seperti:
Reformasi Kebijakan Publikasi: merivisi kewajiban publikasi untuk kenaikan jabatan: fokus kualitas—bukan kuota, serta larangan insentif administratif berbasis jumlah terbit, khususnya di jurnal delisted atau predatory, ditambah dengan melibatkan lembaga independen (BRIN, Perguruan Tinggi, asosiasi ilmiah) dalam validasi jurnal dan publikasi.
Transparansi dan Akuntabilitas: Publikasikan indeks RI² atau metrik integritas internal setiap institusi—retensi kasus retraction dan publikasi di jurnal delisted. Selain itu bisa dilakukan buka data transparan tentang rekrutmen dosen, promosi, dan konflik kepentingan di lingkungan kampus.
Rekonstruksi Budaya Akademik: bentuknya bisa bermacam-macam misalnya seperti program edukasi integritas publikasi: SOP etika penelitian, pelatihan menulis, pendampingan jurnal terpercaya. Proteksi whistleblower: dimana mendorong pelaku akademik seperti mahasiswa dan dosen melapor kecurangan tanpa takut represi, terakhir memberikan penghargaan budaya ilmiah bermutu, bukan sekadar produktivitas angka.
Mengakhiri Mitos “Semakin Banyak Semakin Hebat”
Beberapa kampus di Indonesia telah bergerak: misalnya Universitas Airlangga (Unair) dan mungkin beberapa perguruan tinggi lainnya melaksanakan SOP Etika Publikasi, workshop intensif untuk dosen, upaya penanganan publikasi bermasalah sejak awal, dan mengelola jurnal internal Q1–Q4 agar kualitas diutamakan.
RI² bukan kritik terhadap jumlah publikasi, melainkan peringatan bahwa jumlah tanpa integritas adalah ilusi prestise. Seperti Lokman Meho menegaskan, indeks ini bukan alat hukuman, melainkan sistem peringatan: agar universitas mampu mengenali kelemahan struktur dan berbenah sebelum reputasi runtuh.
Kampus yang memprioritaskan angka—tanpa kontrol mutu, tanpa peer review berkualitas—sedikit demi sedikit meracuni nilai ilmiah yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan tinggi. Saat itu terjadi, kita justru membangun gelar tanpa ilmu, titel tanpa tanggung jawab.
Saatnya Kampus Bernalar Jujur
Integritas akademik bukan sekadar slogan—ia harus dijaga lewat struktur, budaya, dan kebijakan. Ketika RI² membunyikan alarm global, itu berarti saatnya menyetop arus pragmatisme dan membenahi pondasi internal kampus.
Kalangan rektor, dosen, mahasiswa, dan regulator pendidikan harus berpadu hati. Reformasi bukan hanya tanggung jawab pimpinan; mahasiswa kritis pun wajib bersuara. Dosen beretik ialah benteng moral—bukan komoditas angka.
Kampus harus jadi tempat lahirnya pemikir berkualitas, bukan pabrik gelar. Jangan biarkan integritas runtuh di kampus—karena di sanalah masa depan bangsa seharusnya dijaga.
Penulis: Ali Bisri Al Muniri
Leave a Reply