Generasi Tanah Emas Putih di Tanah Rantau Kota Malang

Mahasiswa/Pemuda Pinggirpapas yang berkuliah merantau ke Kota Malang (foto: Dokumentasi Pribadi 2025)

Terasikip.com — Kepedulian atas Pendidikan Pemuda Desa Pinggirpapas hingga memberanikan diri untuk memilih jalan rantau sebagai upaya menembah ilmu. Hal itu pula kemudian, mendorong munculnya rasa kekompakan atas Mahasiswa/Pemuda Pinggirpapas yang berkuliah di Kota Malang untuk mengadakan pertemuan sebagai bagian dari siraturahmi.

Pertemuan tersebut disepakati pada Selasa (16/9/2025) Malam. Bertempat di Villa Bukit Tidar, Kota Malang, pada kediaman Fairouz Huda selaku pembina dari Mahasiswa/Pemuda Rantau asal Pinggirpapas (Qomaran Generation) atau yang biasa dikenal sebagai Cak Fai.

“Pertemuan semalam itu bisa menjadi ajang silaturrahim antar generasi di tanah perantauan, Kota Malang. Dengan bertemu, semua bisa merajut persapaan berupa canda tawa,  mengurai sejarah, mendalami nilai tradisi, dan juga menjadi ruang bertukar pengetahuan dengan setara,” Ujarnya.

Hal yang menjadi menarik pada pertemuan tersebut yaitu turut mengundang seorang Dosen Fakultas Hukum dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yaitu: Agung Ali Fahmi, S.H., M.H. sebagai pemantik diskusi pada forum malam itu. Yang kebetulan dalam Desertasi Doktoralnya meneliti tentang Hukum Adat Masyarakat Pegaraman, bertempat di Desa Pinggirpapas, Kab. Sumenep, Jawa Timur.

Pemantik Diskusi Agung Ali Fahmi, S.H., M.H. dan Fairouz Huda atau biasa yang di panggil Cak Fai

Bisa dikatakan diskusi tersebut merupakan pemaparan dari hasil penelitian beliau selama di Desa Pinggirpapas. Fokus diskusi di tekankan pada masyarakat Desa Pinggirpapas yang masih setia merawat Tradisi Nyadher, yaitu ritual adat yang sudah bertahan berabad-abad lamanya mulai dari 1408 M. Jauh sebelum Perang Diponegoro yang terjadi kisaran 1825-1830 (Peristiwa yang terkenal di Jawa hingga menimbulkan kerugian pada Belanda).

“Nyadher bukan sekedar tradisi pesta rakyat semata, melainkan identitas bangsa yang menyimpan falsafah kebangsaan yang nyaris lengkap: Religiusitas, Kemanusian, Persatuan, Musyawarah, hingga Keadilan Sosial.” Ungkap Dosen UTM itu.

Nyader merupakan miniatur Pancasila dalam bentuk paling nyata karena didalamnya mencakup:

1. Ketuhanan : Upacara religius dengan fondasi Islam yang kuat.

2. Kemanusian : Pembagian peran laki-laki dan perempuan tanpa deskriminasi.
3. Persatuan : Lahir dari Warga, tidak mudah diintervensi oleh Pemerintah/Negara.

4. Kerakyatan (Musyawarah) : Semua keputusan adat diambil lewat musyawarah sesepuh.

5. Keadilan Sosial : Semua warga dapat bagian berkat dan hasil ritual.

Tradisi tersebut mencerminkan kebudayaan masyarakat Desa Pinggirpapas, Ditengah derasnya arus festivalisasi budaya oleh negara, masyarakat Pinggirpapas justru memilih jalannya sendiri: menolak komersialisasi, menolak intervensi, dan menjaga kemurnian adat. Disitulah letak perlawanan kultural yang justru memperlihatkan kemandirian sejati.

Dari hal itu kemudian ditekankan kembali oleh pembina Qomaran Generation Fairouz Huda “Sebagai anak kandung yang dilahirkan dari rahim yang sama, yaitu di tanah garam – Desa Pinggir Papas, Kec. Kalianget, Kab. Sumenep, berbareng berkumpul itu sangat membahagiakan, dan pasti bermanfaat dalam menguatkan ikatan persaudaraan, sehingga ada semangat yang sama untuk saling menjaga satu sama lainnya, agar tetap kokoh dalam marawat niat memperdalam pengetahuan, memperkaya pengalaman, memperluas pergaulan, di bumi arema ini. Dan bahkan juga bisa saling mengingatkan, bahwa meski hidup di kota, jangan sampai kita ini tercerabut dari akar tradisi yang kaya, di desa asal sejarah kehidupan kita dimulai.” Ungkapnya

Kekayaan pemikiran dan budaya yang tetep terjaga orisinalitasnya mulai dari Angga Suto sebagai manusia pertama yang mendiami wilayah Pinggirpapas, hingga sampai menciptakan sejarah garam tertua yang menjadi rujukan asal mula Garam sebagai mata pencaharian dan bahan industri yang senantiasa dibutuhkan. Bahkan sampai masuk dan di akui dalam UU No. 7 tahun 2016 satu-satunya komoditas pangan yang diatur oleh negara. Tetapi sangat prihatin dikarenakan tidak dilirik oleh Pemerintah setempat untuk bangga dan mengakui sebagai Kota Garam, melainkan segabai Kota Keris yang masih dapat dipertanyakan relevansinya.

Adapun harapan Fairouz Huda sebagai pembina dari Mahasiswa/Pemuda Rantau Kota Malang yang berasal dari Desa Pinggirpapas “dengan agenda yang terjadwal; semisal berkumpul dalam format diskusi tematik, atau kemah dan outbond, maupun secara non formal dengan agenda ngopi bareng di cafe sembari membahas tugas-tugas kuliah di kampus, dan lain-lain.” Ujarnya

Kekuatan bangsa tidak hanya lahir di pusat-pusat kekuasaan, tetapi juga di desa-desa pesisir yang mungkin sering luput dari perhatian. Pinggirpapas adalah cermin: tentang bagaimana sebuah komunitas bisa tetap religius, humanis, demokratis, adil, dan mandiri, bahkan tanpa banyak bicara soal Pancasila.
Mungkin, justru dari sanalah kita perlu belajar kembali arti menjadi Indonesia.

Penulis: Budiyanto