Terasikip.com — Di tengah gelombang demonstrasi yang kembali merebak pada pekan terakhir Agustus 2025, ruang publik Indonesia terasa panas—bukan hanya oleh terik kemarau, melainkan oleh ketegangan batin warga yang menuntut negara kembali ke akal sehatnya. Titik picu terkini begitu kasat mata: kemarahan atas kenaikan berbagai tunjangan anggota parlemen, yang meledak seusai tewasnya seorang pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan, diduga terlindas kendaraan polisi saat unjuk rasa.
Dalam hitungan hari, amarah itu menjalar lintas kota; gedung-gedung dewan daerah diserbu, sebagian terbakar, dan korban jiwa jatuh di Makassar—tanda bahwa kegusaran rakyat telah melampaui batas sabar. Pemerintahan yang baru berusia kurang dari setahun dihadapkan pada ujian legitimasi paling serius: bersedia merawat hak warga untuk marah dan mengoreksi kekuasaan, atau tergoda untuk meredamnya dengan kuasa pemukul.
Kita perlu jujur menyebut nama gejalanya: kekacauan negara. Bukan dalam arti anarki tanpa hukum, melainkan kekacauan tata-kelola—ketika kebijakan publik berjalan tanpa benang merah, ketika kepekaan sosial lumpuh, ketika prosedur menggantikan nurani, dan ketika respon negara terhadap kritik lebih sering bersifat represif ketimbang dialogis. Kekacauan semacam ini tidak lahir semalam; ia tumbuh dari akumulasi keputusan yang menepikan rasa keadilan.
Kenaikan tunjangan pejabat di saat rakyat mengencangkan ikat pinggang, misalnya, adalah simbol paling telanjang dari jurang empati itu. Bahwa gelombang protes kali ini berangkat dari isu “uang saku politik” tetapi segera bertaut dengan keluh sosial yang lebih luas—harga beras, ongkos pendidikan, pekerjaan kontrak—menunjukkan bahwa tekanan di dasar piramida telah lama menumpuk.
Sesungguhnya alarm-alarm telah berbunyi sejak tahun lalu. Pada Juni–Juli 2024, kebijakan Tapera—tabungan perumahan wajib—memantik aksi besar buruh dan serikat pekerja di depan Istana. Narasinya sederhana: negara meminta “patungan” dari upah buruh, sementara problem keadilan perumahan dan tata kelola dana jangka panjang belum terang.
Bahkan analis kebijakan memperingatkan beban ganda bagi pekerja dan pemberi kerja, serta ketidakcukupan skema iuran untuk mengejar harga rumah yang kian melambung. Protes itu memudar dari pemberitaan, tetapi tidak padam dari ingatan kolektif. Hari ini ia menyala lagi, mengambil bentuk baru.
Di akar yang lebih dalam, indikator demokrasi kita juga menunjukkan gejala penipisan nutrisi. Laporan Freedom House “Freedom in the World 2025” menempatkan Indonesia sebagai “Partly Free” dengan skor 56/100—turun satu poin dari 57 pada tahun sebelumnya. Penurunan ini bukan sekadar angka; ia mencerminkan kian beratnya tantangan pada hak sipil dan politik, termasuk independensi lembaga, kebebasan berekspresi, dan perlindungan terhadap aktivis.
Rapuhnya Demokrasi Kita
Gambaran lain datang dari Democracy Index 2024 terbitan Economist Intelligence Unit: Indonesia mendapat skor 6,44 (kategori “flawed democracy”), peringkat 59 secara global, turun tiga peringkat dari tahun sebelumnya. Rinciannya menampar kesadaran: civil liberties kita hanya di level 5,29; political culture 5,00; sementara electoral process masih relatif kuat di 7,92. Artinya, prosedur elektoral berjalan, tetapi kebebasan sipil, budaya politik deliberatif, dan fungsi negara yang akuntabel belum tumbuh seimbang. Demokrasi prosedural yang berlari, tanpa perlindungan hak yang berjejak, cenderung tersandung pada saat-saat krusial seperti sekarang.
Bahkan sebelum gelombang Agustus 2025, tanda-tanda “darurat demokrasi” muncul dalam berbagai momen: dari kontroversi perubahan aturan pemilu lokal pada 2024 yang memicu protes mahasiswa, hingga respons keras aparat atas aksi antikorupsi pada Agustus 2024 di setidaknya 16 kota. Jejak-jejak ini menyusun pola: ruang partisipasi dibuka, tetapi garis ambang toleransi terhadap dissent kerap sempit; kompromi politik antarlembaga berjalan, tetapi akuntabilitasnya kabur bagi publik.
Mari kembali pada pertanyaan pokok: mengapa kekacauan tata-kelola mudah beranak pinak? Pertama, karena keputusan publik kerap diproduksi di ruang eksekutif dan legislatif yang berpikir dalam horizon jangka pendek. Kenaikan tunjangan, revisi aturan, atau proyek strategis sering diproyeksikan sebagai “kebutuhan segera”, sementara dampak jangka panjangnya—pada rasa keadilan, kepercayaan warga, dan kohesi sosial—direduksi menjadi masalah komunikasi. Padahal, dalam demokrasi, kepercayaan adalah modal institusional paling mahal; begitu ia retak, setiap kebijakan, betapapun rasional di atas kertas, akan dicurigai sebagai siasat kekuasaan.
Kedua, mekanisme checks and balances melemah ketika kultur politik cenderung memburu “stabilitas” versi elite—stabilitas yang menyamakan kritik dengan ancaman, bukan sebagai vitamin bagi kebijakan. Dalam ekosistem semacam ini, aparat di lapangan sering berada di posisi sulit: dituntut “mengamankan” ketertiban, tetapi tak diberi pedoman operasional yang menjamin deeskalasi. Tragedi di Jakarta dan Makassar pekan ini hendaknya jadi pelajaran pahit: nyawa warga bukan collateral damage dari penertiban. Negara harus berani menyatakan—dan membuktikan—bahwa pelanggaran prosedur oleh aparat akan dihukum; bahwa keluarga korban berhak atas kebenaran dan keadilan; dan bahwa rute demokrasi selalu lewat dialog, bukan meriam air dan gas air mata.
Ketiga, rasa keadilan ekonomi yang timpang. Statistik inflasi nasional mungkin terlihat “moderat”, tetapi keranjang belanja rumah tangga berbicara sebaliknya: harga beras, ongkos pendidikan, dan biaya transportasi menekan dompet. Ketika pemerintah menyosialisasikan kebijakan beras melalui operasi pasar dan penetapan HPP gabah, narasi kebijakan tak otomatis menyentuh dapur rakyat yang tiap hari berhadapan dengan harga eceran tinggi. Di sinilah seni memerintah diuji: menghubungkan rasionalitas makro dengan rasa keadilan mikro.
Apa yang Harus Disegerakan
Tanpa terjebak pada moralistis “harus-begini-harus-begitu”? Pertama, hentikan kebiasaan menempatkan beban penyesuaian di pundak rakyat ketika elite menaikkan “biaya politik” bagi dirinya sendiri. Bila kenaikan tunjangan telah memantik api, padamkan dengan langkah korektif: moratorium, audit manfaat, dan transparansi penuh skema remunerasi pejabat. Jangan sekadar memoles komunikasi; ubah substansi. Publik bisa memaafkan kekeliruan yang diperbaiki, tetapi sulit melupakan keangkuhan yang dipertahankan.
Kedua, bangun protokol deeskalasi yang mengikat—bukan imbauan di atas podium. Setiap komando pengamanan unjuk rasa wajib didampingi indikator akuntabilitas operasional: body-worn camera, kewajiban publikasi rencana pengalihan arus, SOP penggunaan kekuatan, hingga jalur pengaduan yang dilindungi. Investigasi atas insiden maut harus diumumkan tenggat waktunya, hasilnya dibuka, dan sanksinya tegas. Janji belasungkawa yang disampaikan pemimpin perlu segera ditopang tindakan administratif dan yudisial yang terukur.
Ketiga, rekonstruksi kanal partisipasi yang benar-benar bermakna. Jika warga turun ke jalan karena jalur aspirasi formal buntu, maka jawabannya bukan sekadar memperlebar trotoar protes, melainkan membuka kembali pintu musyawarah kebijakan: dengar pendapat publik yang sungguh-sungguh (bukan seremonial), naskah akademik yang dapat diakses, dan kewajiban lembaga negara merespons substansi masukan warga secara tertulis. Pembelajaran dari huru-hara kebijakan Tapera jelas: jika desain beban iuran, mekanisme pengelolaan dana, dan proyeksi manfaat tidak dibahas terbuka bersama penerima dampak, maka lapangan akan “mengajarkan” pemerintah dengan caranya sendiri—yakni protes.
Keempat, akui dan kelola konflik pembangunan. Kasus Rempang—dari benturan 2023–2024 hingga eviksi paksa yang masih berbekas pada 2025—mengajarkan bahwa proyek strategis tidak boleh berjalan di atas luka sosial. Prinsip FPIC (free, prior, informed consent) bukan jargon LSM, melainkan syarat minimal negara demokratis yang menghormati warga sebagai subjek. Tanpa ini, setiap groundbreaking akan dibayangi groundshaking.
Di ranah makro, rekomendasi lembaga-lembaga pemantau demokrasi sebetulnya sejalan dengan intuisi publik: perkuat kelembagaan, lindungi kebebasan sipil, tegakkan akuntabilitas. Freedom House menandai problem klasik kita di wilayah hak-hak sipil dan politik; EIU menunjukkan ketimpangan antara prosedur elektoral dan kualitas kebebasan sipil. Artinya, pekerjaan rumah Indonesia bukan hanya memenangkan pemilu yang tertib, melainkan memastikan bahwa setelah pesta usai, hak warga tetap menjadi jantung kekuasaan.
Harapan Demokrasi Kita
Apakah ini berarti harapan demokrasi padam? Justru sebaliknya. Gelombang protes—meski menyisakan luka—adalah bukti bahwa warga masih percaya pada daya suaranya. Mahasiswa, buruh, komunitas lokal, jurnalis, dan pegiat sipil menunjukkan bahwa republik ini masih punya otot moral untuk menegakkan nurani. Tugas negara bukan mematahkan otot itu, melainkan mengarahkan energinya menjadi koreksi yang memperkuat kebijakan. Demokrasi bukanlah ketertiban tanpa suara; demokrasi adalah keberisikan yang beradab.
Gaya kepemimpinan yang dibutuhkan hari ini adalah kepemimpinan yang berani meralat. Presiden dan para menteri bisa memulai dari langkah-langkah sederhana namun simbolik: menunda kenaikan tunjangan, membuka audit kebijakan yang mengundang kontroversi, menginisiasi dialog kebangsaan lintas kampus dan serikat, serta menugaskan ombudsman independen untuk memantau penanganan aksi—dengan mandat publik yang jelas. Simbol penting karena ia mengirim pesan bahwa telinga negara masih berfungsi, dan hatinya belum kapalan.
Kita juga perlu menegaskan garis etis bagi gerakan sosial: kekerasan yang membakar fasilitas publik, apalagi merenggut nyawa, merusak legitimasi tuntutan. Keberpihakan pada rakyat kecil mensyaratkan disiplin moral: amarah dibenarkan, tapi nyawa tak boleh dikorbankan. Di sini, pemimpin gerakan, kampus, serikat, dan tokoh agama punya peran: menjaga protes tetap damai, terukur, dan fokus pada agenda substantif—bukan menjadi panggung anarkis yang mudah dideligitimasi.
Pada akhirnya, demokrasi Indonesia sedang menyeberangi jembatan rapuh antara prosedur dan keadilan. Di ujung jembatan, kita ingin menemukan negara yang bukan sumber kegaduhan, melainkan penjamin keadilan sosial. Jalan ke sana tidak lain adalah tiga serangkai: (1) akuntabilitas yang nyata—bukan retorika; (2) partisipasi yang bermakna—bukan seremonial; (3) perlindungan hak yang konsisten—bukan kondisional. Jika tiga hal ini dipenuhi, skor dan peringkat demokrasi akan memperbaiki diri sebagai konsekuensi, bukan tujuan. Pilihan ada pada kita semua—pemerintah, parlemen, aparat, dan warga. Kekacauan bisa menjadi peluang, bila dibaca sebagai sinyal “reset” untuk memperbaiki kompas bernegara.
Harapan itu tidak abstrak. Ia tampak pada mahasiswa yang menolak lupa, pada buruh yang menuntut upah layak tanpa memusuhi pertumbuhan, pada warga yang mengorganisir dapur umum saat aksi, pada jurnalis yang tetap meliput meski diadang. Demokrasi berdiri di bahu orang-orang seperti mereka—yang percaya bahwa republik selalu mungkin menjadi lebih baik dari kemarin. Tugas negara adalah memastikan bahwa kepercayaan itu tidak dikhianati lagi.
Penulis: Ali Bisri Al Muniri
Leave a Reply